Minggu, 31 Maret 2013

Nilai vs Kejujuran (Catatan sebelum UTS)


Pendidikan, sejatinya adalah sebuah fase untuk menjalani dan memaknai kehidupan ini sebagai manusia pembelajar sepanjang hayat. Pada hakikatnya, kita tidak pernah purna untuk menamatkan ”sekolah” di kehidupan ini. Saat ujian datang bertubi-tubi, itulah batu loncatan yang mampu mengantarkan kita untuk meningkatkan kapasitas diri.

Merupakan suatu hal yang mutlak dalam menjalani proses pendidikan di negeri ini, bahwa ujian merupakan salah satu standar penentu keberhasilan tingkat pembelajaran. Saat-saat menjelang ujian, adalah saat yang kritis. Mahasiswa mulai disibukkan mencari bahan-bahan kuliah, mengurangi aktifitasnya di organisasi, berjuang keras menghafal materi beberapa mata kuliah dalam waktu yang singkat. Salah satu goal yang memotivasi semangat belajar mahasiswa menjelang ujian, tidak lain adalah nilai yang memuaskan. Betapa bangganya jika huruf A, maupun IPK dengan angka 4 mampu tertoreh dalam sejarah pencapaian prestasi kita selama belajar di kampus.

Namun, ketika yang menjadi motivasi adalah hal negatif seperti ketakutan, maka semuanya akan menjadi hal yang berbeda. Ketakutan mendapat nilai jelek, ketakutan mengecewakan orang tua, ketakutan akan sulit mendapat pekerjaan karena transkrip nilai yang tidak mencapai standar, akan melahirkan berbagai macam tindak kecurangan. Merupakan sebuah pertanyaan yang retorikal jika ada yang menanyakan apakah tindakan tersebut dapat dimaafkan atau tidak. Masing-masing dari kita telah memahami dan mengetahui apa konsekuensinya. Namun, mari kita merenung sejenak. Saat mahasiswa menuntut para koruptor, para pelaku illegal loging yang mengambil hak milik orang lain, lalu bagaimana dengan kita sendiri?. Tidakkah melakukan kecurangan dalam ujian tidak ubahnya sama seperti oknum-oknum tersebut?. Mungkin kita berdalih, merasa bahwa tidak ada hak orang lain yang kita ambil. Benarkah?. Jika ada suatu kasus, seorang mahasiswa jujur dari keluarga tidak mampu dengan nilai yang pas-pasan, harus rela tidak mendapat beasiswa karena nilainya lebih kecil dibandingkan mahasiswa lain yang tidak jujur saat ujian. Bayangkan, betapa beratnya tanggung jawab yang akan kita pikul kelak.

 Dalam hadis riwayat Ath-Thabrani, ”Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga”. Tidakkah kita ingin meraih itu?. Dalam setiap langkah yang kita pijakkan dalam menuntut ilmu, ingatlah kembali, bagaimana keikhlasan orang tua saat melepas kita, saudara-saudara yang senantiasa mendo’akan kita, tentu kita tidak ingin mengecewakan mereka. Dunia tidak akan runtuh jika kita mendapat nilai yang jelek. Satu yang perlu kita lakukan adalah, melakukan evaluasi diri. Tidak masalah menerima kekurangan yang ada dalam diri, jika ada tekad yang kuat untuk memperbaikinya, maka tidak hal yang tidak mungkin. Kejujuran adalah sebuah hal yang tidak ternilai harganya. Sungguh tidak sebanding jika kita menggadaikannya hanya demi melihat huruf A terpampang dalam transkrip nilai yang sangat subjektif. Perlu diingat pula bahwa kita tidak hanya akan mendapat transkrip nilai di dunia, namun juga di akhirat. Allah memerintahkan dalam Al-Qur’an surah At Taubah ayat 119, ”Wahai orang-orang beriman. Bertakwalah kamu kepada Allah dan jadilah kamu (hidup) bersama orang-orang yang jujur”. Wallahu a’lam. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Kejujuran yang hakiki, dan tidak pernah tergoyahkan oleh nilai-nilai semu duniawi.

Ayoooo, lestarikan budaya jujur :D
semoga UTS ini kita semua mendapat berkah dari Allah. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar